Jumat, 16 April 2010

Sejarah Tradisi Meron

Sejarah Meron ini Aku Persembagkan Kepada Masyarakat se Kecamatan Sukolilo termasuk Desa Cengkalsewu yang menjadi tempat kelahiranku. Rasa terima kasihku ini sebagai wujud nyata kepedulian untuk melestarikan tradisi dan budaya bangsa. Walaupun tulisan ini sangat sederhana tetapi saya percaya sedikit banyak ada gunanya. Amin....

"Mempertahankan Tradisi Berarti Mempertahankan Jati Diri Bangsa".




TRADISI MERON

Tinjauan Sejarah dan Makna Filosofisnya

SWIDARTO, APKSTD, S.Pd. MM


BAB I

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa mempunyai kebhinnekaan budaya yang merupakan hasil dari budidaya rakyat Indonesia seluruhnya, sehingga setiap daerah mempunyai spesifikasi tersendiri. Perbedaan ini mencakup bahasa daerah, adat istiadat, kesenian, pakaian daerah, agama dan kepercayaan, tata susunan masyarakat, dan kebudayaan. Adat dan tata cara upacara perkawinan di Indonesia berbeda-beda disetiap daerah sehingga banyak sekali ragamnya. Hal ini disebabkan oleh bermacam-macam suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda pula.

Wujud kebhinnekaan budaya bangsa dapat dilihat dari kehidupan religius yang dijadikan sebagai pedoman untuk bersikap, berperilaku dalam menjalani kehidupannya. Hampir setiap kegiatan selalu dilandasi dengan upacara religius baik dalam kegiatan mata pencaharian, adat istiadat perkawinan, tata cara penguburan selametan-selametan, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Mereka patuh menjalani pranata-pranata yang berbau religius dan magis tersebut, karena mereka beranggapan bahwa apabila terjadi pelanggaran akan mendapat kutukan dari arwah nenek moyang yang akan menimbulkan bencana terhadap warga masyarakatnya.

Setelah masuknya pengaruh agama banyak adat istiadat yang disesuaikan dengan ajaran agama. Masuknya agama Islam di Indonesia membawa perubahan yang sangat besar di bidang tradisi dan budaya masyarakat. Pengaruh budaya Islam mencakup dua hal yang mendasar yaitu : budaya material dan non matrial. Budaya material yaitu suatu hasil budaya masyarakat Islam yang berbentuk benda-benda / bangunan-bangunan fisik seperti : masjid, musholla, langgar, keraton, batu nisan, makam, beteng dan sebagainya. Sedangkan budaya non matrial yaitu suatu hasil budaya masyarakat yang menghasilkan seni, upacara-upacara religi, adat istiadat, tradisi-tradisi Islam, seperti : perkawinan, kematian, kelahiran, peringatan hari besar-hari besar dan sebagainya.

Peringatan hari besar Islam dalam memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW banyak dimeriahkan dengan berbagai tradisi seperti Skatenan di Yogyakarta, Tradisi Oshing di Bayuwangi, Tradisi Ampyangan di Loram Kulon Kabupaten Kudus dan Meronan di Sukolilo serta berbagai tradisi di tempat-tempat lainnya. Tradisi tersebut perlu digali dan diinventarisasi, didokumentasikan kepada masyarakat luas agar dapat dijadikan sebagai media informasi dan penghubung antar generasi ke generasi.

Tradisi Meron yang diadakan di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, merupakan salah satu bentuk tradisi yang unik. Tradisi ini mirip dengan Grebeg Maulid (Sekatenan) yang ada di Keraton Yogyakarta Surakarta. Tradisi ini di adakan pada tanggal 12 Robiul Awal, bertepatan dengan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Meron adalah pesta yang diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW., pada tanggal 12 Robiul Awal. Pada kelahiran Nabi Muhammad SAW. ini, dibacakan riwayat hidup nabi di masjid-masjid dan sebagian besar di rumah penduduk. Selain itu, pada kesempatan ini diadakan pula selamatan (rasulan) yang berupa nasi tumpeng beserta lauk pauknya untuk menjamu teman-teman atau tokoh-tokoh agama. maupun di Keraton

Dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad masyarakat Desa Sukolilo mengenal tiga perayaan yang dilangsungkan, yaitu keramaian Meron (pasar malam), pembuatan Meronan dan upacara tradisi Meronan. Perayaann keramaian Meron biasanya diadakan pasar malam yang diadakan seminggu sebelum diadakan upacara tradisi Meron. Selain pasar malam, seminggu sebelum diadakan upacara tradisi Meron diadakan persiapan pembuatan uborampe Meron yang dilakukan di rumah-rumah perangkat desa yang berjumlah dua belas. Persiapan pembuatan Meron di rumah-rumah perangkat desa ini disertai dengan melekan atau tirakatan. Setelah uborampe yang dipersiapkan sudah cukup matang maka sehari sebelum dilaksanakan upacara tradisi Meron dibuat secara bergotong royong oleh masyarakat lingkungan perangkat desa masing-masing. Malam harinya semalam suntuk diadakan tirakatan para sesepuh dan dihibur dengan Wayang Kulit, Barongan dan Leang-leong sebagai alat wejangan kepada perangkat desa yang tengah berkumpul. Setelah diadakan tirakatan dan pentas seni, pagi harinya jam 06.00 WIB Meron dikeluarkan di emper rumah. Setelah sembahyang Dzuhur, Meron diarak menuju ke tempat masing-masing sepanjang jalan raya berjarak 1 km antar ujung. Kemudian para perangkat diiring menuju rumah kepala desa untuk selanjutnya bersama-sama mengarak Meron kepala desa menuju halaman masjid besar Sukolilo, Upacara diadakan dihalaman masjid dipimpin oleh penghulu KUA Kecamatan. Setelah panjat do’a selesai, dibagikan jadah pasar sebagai perlambang pemberian kepala desa kepada rakyatnya. Sepekan setelah perayaan uborampe seperti ampyang, once dan cucur dibagikan kepada rakyat lingkungan perangkat desa masing-masing sedangkan nasi ruroh dan buah-buahan dalam ancak diperebutkan pada waktu upacara panjatan do’a selesai.

Meron yang bentuknya mirip dengan gunungan ini dilengkapi dengan berbagai uborampe (kelengkapan sesaji) yang oleh masyarakat dipersepsikan memiliki makna-makna filosofis dan paedagogis dalam kehidupan. Makna philosofis yang terkandung dalam tradisi Meron mencakup berbagai hal yang meliputi : pelaksanaan ritual, dan uborampe yang digunakan dalam Meron tersebut, melambangkan dan mencerminkan budaya dan tradisi Islam. Selain itu tradisi Meronan memiliki tujuan yaitu untuk melestarikan tradisi nenek moyang yang dilakukan secara turun temurun berabad-abad lamanya, meningkatkan sikap kegotong-royongan, membina persatuan dan kesatuan, mewujudkan rasa syukur atas limpahan rizqi yang diberikan oleh Allah, serta melambangkan dan menggambarkan tingkatan kehidupan manusia yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Di samping itu keberadaan upacara tradisi Meron dapat dijadikan sebagai wahana untuk mempertahankan jati diri / identitas dan kepribadian yang mengandung nilai budaya dan merupakan manifestasi dari segala bentuk gagasan dari konsep ide masyarakat Desa Sukolilo; Sebagai wahana untuk mengembangkan seni dan budaya masyarakat; Syiar agama Islam; Memberikan tontonan yang menarik bagi masyarakat serta sebagai wahana untuk promosi wisata ritual bagi Dinas Pariwisata Kabupaten Pati.

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas bahwa upacara tradisi Meronan yang dilaksanakan masyarakat Desa Sukolilo secara turun-temurun sangat kental dengan nuansa filosofis, sakral, megandung unsur paedagogis dan diharapkan menyatu di hati sanubari masyarakatnya. Oleh karena itu keberadaannya perlu dilestarikan, dipertahankan dan dikembangkan dari generasi ke generasi sehingga dapat dijadikan sebagai cermin jati diri dari kepribadian budaya masyarakat yang adi luhung teruma bagi masyarakat Desa Sukolilo dan sekitarnya.

ASAL USUL DESA SUKOLILO

Asal usul Desa Sukolilo belum diketahui secara pasti kapan desa ini didirikan. Konon Desa Sukolilo dikaitkan dengan legenda Kyai Ageng Giring dan Pemanahan. Pada waktu itu, Ki Ageng Pemanahan sedang mencari kakak seperguruannya yaitu Ki Ageng Giring yang berdomisili di Dukuh Garengan Wonokusumo. Ki Ageng Pemanahan tidak langsung bertemu dengan Ki Ageng Giring di rumahnya karena baru sedang mencangkul di tegalan. Ki Ageng Pemanahan di ditemui oleh Nyai Ageng Giring.

“Kok, tumben Ki datang kemari !”, sapa Nyai Ageng.

“Ya Nyi… saya sangat kangen sama Kakang Giring karena, sudah lama tak bertemu. Bagaimana khabarnya Nyi Ageng sekeluarga di rumah, baik-baik saja khan ?”, tanya Ki Pemanahan kepada Nyai Ageng Giring.

“Bagaimanakah kabar adhi sekeluarga. Tentunya sehat –sehat saja khan!” “Ya, alhamdullillah atas restunya Nyi!.

“Oh ya Ki, tunggu sebentar, Aki pasti haus khan dari perjalanan jauh. Oh ya, tadi kakangmu kelihatannya telah memetik buah kelapa muda dari tegal”.

“Wah kebetulan sekali saya sangat haus, terima kasih Nyi”.

Sambil berjalan tertatih-tatih Nyai Ageng Giring mengambil degan di bawah kolong tempat tidurnya. Tak lama kemudian Nyai Ageng keluar membawa degan dan parang disodorkan kepada Ki Ageng Pemanahan.

“Ini di, …. degan dan parangnya, tolong kupas sendiri!”.

Nyai Ageng bergegas ke dapur mengambil cangkir, sedang Ki Pemanahan sibuk mengupas kelapa muda. Tak lama kemudian diteguklah air kelapa muda langsung dari buahnya hingga habis. Pada saat bersamaan keluarlah Nyai Ageng Giring membawa cangkir sambil terbengong-bengong melihat Ki Ageng Pemanahan menenggak air kelapa bagai orang yang sedang kehausan. Tiba-tiba Ki Ageng Giring datang sambil tergopoh-gopoh dan terkejut melihat air kelapa muda miliknya telah diminum habis oleh Ki Ageng Pemanahan.

“Nyi….tolong ambilkan kelapa mudaku yang saya simpan di kolong balai tempat tidur!” Perintah Ki Ageng Giring kepada istrinya.

“Lho, itu sudah diminum adikmu !” kata Nyai Ageng Giring.

Ki Ageng Giring terkejut mendengar keterangan Nyai Ageng sambil memegang dahinya, pada hal sebelum pergi ke tegal sudah berpesan agar kelapa muda itu jangan sampai diminum orang. Karena kelapa itu, didapatkan dari petunjuk ketika bertapa selama 40 hari. Barang siapa yang dapat memetik buah kelapa yang hanya berbuah tunggal dan meminum airnya hingga habis akan dapat menurunkan raja-raja di Jawa. Ternyata pohon yang berbuah tunggal itu berada di tanah tegalannya di Dukuh Garengan Wonokusumo.

Ki Ageng menggerutu dan tampak merah padam raut mukanya menahan amarah sampai bergetar badannya sambil bersuara parau memarahi Nyai Ageng. Berlututlah Nyai Ageng Giring bersujud ditelapak kakinya sambil memohon ampun karena lupa pesan dari Ki Ageng Giring. Dengan bahasa santun Ki Ageng Pemanahan melerai amarah Ki Ageng Giring agar tidak terjadi pertengkaran dengan isterinya karena air kelapa terlanjur diminumnya. Ki Ageng Pemanahan merasa bersalah dan meminta maaf kepada Ki Ageng Giring karena lancang telah meminum air kelapa mudanya.

Ki Ageng Giring setelah amarahnya reda, dan legowo menceriterakan asal muasal kelapa muda yang diminum oleh Ki Ageng Pemanahan bahwa kelapa itu bertuah bagi yang meminumnya akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Ki Ageng Giring meminta kepada Ki Ageng Pemanahan agar merelakan anak keturunan Ki Ageng Giring kelak juga menjadi raja di tanah Jawa pada keturunan yang ketiga namun Ki Ageng Pemanahan menolak dan selanjutnya tawar menawar. Hasil kesepakatan antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan akhirnya pada keturunan yang ke tujuh kelak menjadi raja di tanah Jawa.

Ki Ageng Pemanahan berpamitan pulang dan di antar oleh Ki Ageng Giring, sampai di Talang Tumenggung (lokasi penyeberangan di aliran sungai Sumber Lawang, yaitu aliran sungai dari sumber yang memiliki dua muara ). Di Talang Tumenggung itulah Ki Ageng Giring berpesan kepada Ki Ageng Pemanahan dengan berkata : “Dhi,… sampai di sini saja saya dapat mengantarkan adhi !.

“Ya, Kang, terima kasih atas keluhuran budi kakang terhadap saya.” Sahut Ki Ageng Pemanahan, sambil berpesan, “Lelakon sing wis dak tindakake wingi-wingi, magepokan karo degan sing tak ombe banyune aku yo ora ngerti sak sukolilamu aku njaluk pangapuro”

“Yo, dhi…podho-podho pangapurane”.

Lokasi Talang Tumenggung merupakan saksi ucapan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, hingga menjadi sebuah nama Kademangan “Sukolilo”.

Sukolilo berkembang menjadi dua buah Kademangan yang Kademangan Sukolilo dan Kademangan Ngawen. Kademangan Sukolilo wilayahnya meliputi Pesanggrahan sebagai pusat pemerintahannya, Tengahan, Gemblung, Misik, Ledok, Lebak Wetan dan Lebak Kulon. Sedangkan Kademangan Ngawen wilayahnya meliputi : Jembangan, Ngawen dan Bowong. Demikian pula pembagian air Sumberlawang terbagi menjadi dua pintu yaitu pintu utara untuk Kademangan Ngawen dan pintu air selatan untuk Kademangan Sukolilo. Pada perkembangan berikutnya setelah kelima Pendowolimo wafat nama Kademangan di rubah menjadi pemerintahan desa yang diberi nama desa Sukolilo yang merupakan gabungan bekas kademangan Sukolilo dan Ngawen hingga sekarang.

Desa Sukolilo adalah sebuah desa yang cukup besar dan luas wilayahnya dibandingkan dengan desa lainnya. Luas wilayahnya 928 hektar dengan dihuni oleh penduduk yang berjumlah 7.071 jiwa. Desa Sukolilo berada di dalam lingkup kecamatan Sukolilo karena menjadi ibukota kecamatan. Secara geografis wilayahnya terdiri dari perbukitan yang termasuk pada deretan pegunungan Kendeng / pegunungan Seribu yang tanahnya subur karena mendapatkan aliran dari mata air Sumber Lawang sehingga banyak tumbuh tanaman seperti kelapa, randu, mangga, nangka, dan berbagai jenis buah-buahan dan tanaman lainnya.

Masyarakat desa Sukolilo dilihat dari kondisi sosial budayanya telah maju. Tingkat ekonominya hampir sebagian besar sudah pada taraf sejahtera, hanya ada beberapa warga yang tingkat pra sejahtera. Masyarakat desa Sukolilo penduduknya bermata pencaharian secara beragam yaitu petani, pedagang, pegawai / TNI Polri dan banyak berwiraswasta. Masyarakat Sukolilo dikenal sebagai masyarakat wiraswastawan yang berhasil, kebanyakan bergerak dalam bidang transportasi dan pengelolaan tambang pasir, batu, padas. Selain itu juga masyarakat Sukolilo dikenal sebagai masyarakat perantau yang sukses baik sebagai pengusaha maupun pejabat di pemerintahan, bahkan dikatakan yang menguasai wilayah Pati berasal dari orang-orang Sukolilo.

Penduduk desa Sukolilo hampir 100 % beragama Islam, hanya beberapa penduduk non pribumi yang tidak beragama Islam sehingga dijuluki sebagai “Desa yang Agamis”. Masjid-masjid, surau-surau, pondok pesantren, sekolah-sekolah banyak berdiri di desa Sukolilo, mulai dari Play Group, TK sampai SMA. Di desa ini terdapat empat Taman Kanak-kanak, tiga SD negeri, satu SD Islam, dua SMP Negeri, dua SMP swasta yaitu SMP Islam dan SMP Muhammadiyah 05 Sukolilo, dua Madrasah Ibtidaiyah dan satu MTs yaitu MTs Islam Sultan Agung, satu SMA Muhammadiyah. Dengan banyak berdiri fasilitas pendidikan maka, Sukolilo tergolong desa yang telah maju pendidikannya.

Dalam organisasi kemasyarakatan, desa Sukolilo dikenal sebagai desa yang tergiat diantara desa-desa di kecamatan Sukolilo. Organisasi ini antara lain Karang Taruna, NU, Muhammadiyah, FKPPI, LKMD, dan lain sebagainya.

PRAHARA KERAJAAN DEMAK, PAJANG DAN BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM

Sejak wafatnya Sultan Trenggono (1546) di Kerajaan Demak Bintoro terjadi kemelut politik. Suksesi pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Trenggono tidak dapat berjalan mulus dikarenakan terjadi konflik di kerajaan Demak Bintoro. Faktor penyebab konflik dari intern (dalam kerajaan) dan faktor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan tentang calon pengganti Sultan Trenggono). Konplik intern kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto (Putera Sulung Sultan Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerjaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II) yang memerintah tahun 1518-1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk merebut dan menduduki tahkta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.

Dalam buku babad Demak disebutkan bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendiri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen. Sedangkan suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani. Sunan Kalijaga beliau mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan nama "Joko Tingkir / Maskarebet". Joko Tingkir adalah menantu dari Sultan Trenggono. Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di pedalaman (di Pajang). Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat di khawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawwuf, besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran "Mistik" atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan ajarannya "Wulang Reh" / Pencerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.

Situasi politik semakin meruncing dan tambah memanas, sehingga Arya Penangsang mengambil sikap, karena merasa dialah yang lebih berhak menduduki tahta Kerajaan Demak Bintoro, maka dengan gerak cepat terlebih dahulu menyingkirkan Sunan Prawoto dengan pertimbangan, Sunan Prawotolah yang membubuh ayahnya, kedua dialah yang menjadi saingan berat dalam perebutan kekuasaan itu, akhirnya Sunan Prawoto mati terbunuh beserta isterinya oleh budak suruhan Arya Penangsang / "Sorengpati" yang bernama "Rungkut", pada tahun 1546. Setelah Sunan Prawoto dan istrinya wafat target berikutnya Joko Tingkir menantu dari Sultan Trenggono, karena dianggap berambisi untuk menduduki tahta dari Kerajaan Demak. Wafatnya Sunan Prawoto dan istrinya menyebabkan Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat hendak memohon pengadilan kepada Sunan Kudus (Ja'far Shodiq) yang waktu itu menjabat sebagai Qadhi / jaksa dan Panglima Perang Kerajaan Demak atas meninggalnya Sunan Prawoto yang telah dibunuh oleh budak suruhan / abdi dari Arya Penangsang yang bernama Rungkut. Aryo Penangsang balas dendam atas terbunuhnya ayahandanya Pangeran Suryawiyata / Sekar (Pangeran Sedo Ing Lepen ). Namun setelah menghadap Sunan Kudus permintaan pengadilan atas wafatnya Sultan Prawoto ditolak bahkan Sunan Kudus sempat berkata "Utang Pati Nyaur Pati". Alasan ini mendasar karena Arya Penangsang adalah keponakan dari Sunan Kudus. Dia dibesarkan oleh Sunan Kudus dalam keadaan Yatim Piatu karena ayahandanya meninggal setelah dibunuh oleh Sunan Prawoto dan ibunya (adik dari Sunan Kudus) juga ikut meninggal dalam peristiwa tersebut karena mengejar suaminya yang terluka parah hingga terjatuh di sungai. Waktu itu Arya Penangsang masih dalam kandungan dan saat itu juga dia lahir dan terseret oleh derasnya air sungai sehingga "temangsang". Atas dasar itulah dia dijuluki sebagai Arya Penangsang karena lahirnya "ketangsang" di sungai. Sudah sewajarnya Arya Penangsang sebagai anak asuhan dari Sunan Kudus yang memiliki latar belakang yang sangat tragis sehingga perlakuan Sunan Kudus terhadap Arya Penangsang melebihi putranya sendiri. Dari latar belakang tersebut maka Sunan Kudus membela keponakannya Arya Penangsang dibandingkan Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin walaupun dulu semasa Sultan Trenggono menjadi raja Sunan Kudus sebagai panglima perangnya, bahkan Pangeran Hadlirin sendiri pernah menjadi menantu dari Sunan Kudus.

Setelah tuntutan pengadilan atas terbunuhnya Sunan Prawoto tidak dikabulkan bahkan mendapatkan jawaban yang mengecewakan maka Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat segera undur diri bahkan tidak berpamitan dengan membawa perasaan yang mendongkol. Sepulangnya dari pendopo "ndalem Sunan Kudus" Pangeran Hadlirin dan Ratu Kalinyamat dihadang oleh para Sorengpati-Sorengpati (Brutus / pembunuh bayaran) dan akhirnya Sultan Hadilirin di keroyok hingga terluka parah dan jiwanya tidak tertolong.

Meninggalnya Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto membuat kepedihan yang mendalam dan kekalutan luar biasa dari Ratu Kalinyamat sehingga dia bersumpah akan mengadakan Tapa Ngrawe di Gunung Donoroso. Tapa Ngrawe artinya bertapa tanpa sehelai / selembar kainpun atau bertapa dengan tanpa memakai panji-panji / simbul kerajaan (meninggalkan segala bentuk kemewahan duniawi). Sumpah ini dilakukan sebagai bentuk protes dan meminta pengadilan dari Tuhan atas meninggalnya kedua orang yang sangat dicintainya. Pertapaannya ini tidak dapat diakhiri sebelum keramas darah, dan membersihkan / mengkesetkan telapak kakinya "dijambul" / rambut kepala Arya Penangsang sebagai balas dendam atas kematian Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto. Selain itu Ratu Kalinyamat juga bersayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang kalau perempuan akan diakui sebagai saudara "sinoro wedi" bila laki-laki akan diberikan kedua putera angkatnya yang bernama "Rr.Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin.

Tindakan ini membingungkan Sultan Hadiwijaya karen Ratu Kalinyamat meninggalkan keraton tanpa pesan. Sultan Hadiwijaya berusaha untuk menemukan sang ratu. Akhirnya Sultan Hadiwijaya menemukan tempat pertapaannya dan meminta Ratu Kalinyamat pulang kekeraton tetapi menolak dan bersumpah sebelum berhasil membalaskan kematian dari kakak dan suaminya belum mau meninggalkan tempat pertapaannya. Sultan Hadiwijaya berjanji akan berusaha untuk mewujudkan keinginan sang ratu. Usaha yang dilakukan yakni mengadakan musyawarah dengan Ki Ageng Panjawi, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Juru Mertani, dari pertemuan ini menghasilkan kesepakatan serta mengatur strategi untuk menghadapi Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya mengadakan pengumuman yang isinya barang siapa yang dapat mengalahkan, menangkap hidup atau mati Arya Penangsang maka akan diberi hadiah bumi Pati dan Alas Mentaok (Mataram ). Akhirnya sang putera angkat bernama Sutowijoyo menyanggupi dan menjadi Senopati perang ketika itu baru berumur 16 tahun. Untuk menghadapi Arya Penangsang maka diatur strategi yaitu dengan menantang Arya Penangsang melalui sepucuk surat yang diberikan oleh pekatik / juru pencari rumput dengan memotong telinganya. Telinga tersebut kemudian digantili dengan suratsurat tantangan ini bersama patih Mataun. Dadalam surat tantangan berbunyi Hai bila engkau laki-laki sejati, ayo berperang tanding. Jangan membawa wadya bala tentara, menyeberanglah di barat seberang sungai Bengawan Selo Caket, aku tunggu di situ, karena merasa mendapatkan tantangan maka Arya Penangsang mukanya merah padam meja didepannya ditendang hingga pecah berkeping-keping, sementara piring dan mangkok berhamburan ke sana kemari, lalu berdiri dan menaiki kuda Gagak Rimang dengan membawa tombak Dandang MungsuhGagak Rimang kuda jantan maka Sutowijoyo menaiki kuda betina dengan warna putih bersih yang akhirnya kuda Gagak Rimang menjadi binal dan naik birahinya sehingga mengejar kuda Sutawijaya. Arya Penangsang tidak begitu menanggapi tantangan Sutowijoyo bahkan memaki-makinya, Hai Sutowijoyo, engkau anak kecil masih ingusan, kau bukan tandinganku, manaaa Hadiwijaya. Akan ku penggal kepalanya. Pada kesempatan inilah Sutawijaya menggunakan kelengahan Arya Penangsang dengan melepaskan tombak Kyai Pleret ke arah perutnya. Arya Penangsang yang sakti mandraguna terluka, ususnya terburai ke luar dan dikalungkan digagang kerisnya yang bernama Brongot Setan Kober sambil menantang Hai Sutowijoyo engkau anak kecil baru kemarin sore, manamana Hadiwijaya musuh bebuyutanku, manaaa!. Sutowijoyo mengetahui setelah Arya Penangsang terluka maka menjauhkan kudanya dan sambil meledek serta menantangnya. Arya Penangsang merasa diledek menjadi naik pitam keris Brongot Setan Kober dihunus dari warangkanya dan mengenai ususnya sendiri. Aryo Penangsang jatuh tersungkur dari kuda Gagak Rimang akhirnya tewas. tantangan. Tukang pekatik Arya Penangsang dengan mengerang-erang kesakitan dan akhirnya mengadukan perihal sedangkan Sutowijoyo sudah menunggu di seberang Kali Bengawan Sore Caket beserta 200 prajurit. Karena kuda

Sebagai tanda bukti pertanggungjawaban setelah menjalankan tugas, Ki Penjawi segera melaporkan kepada Sultan Hadiwijaya. Dalam laporannya Ki Penjawi menyampaikan dua hal yaitu : memohon permintaan maaf atas segala kekurangan yang dilakukan sebagai pimpinan perang dan melaporkan keberhasilannya dalam melumpuhkan dan menewaskan Arya Penangsang bersama-sama Sutowijoyo, Ki Juru Mertani, Ki Pemanhan.

Sultan Hadiwijaya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyelesaikan tugas dengan hasil yang gemilang. Sultan Hadiwijaya kemudian melaporkannya kepada Ratu Kalinyamat sehingga membuat girang hatinya. Sang ratu kemudian merampungkan tapa-bratanya dan berkemas kembali kekerajaan untuk memegang tapuk kepemimpinan di Kerajaan Kalinyamatan Jepara. Penobatan kembali Ratu Kalinyamat menjadi ratu di Kerajaan Kalinyamatan. Pentasbihan ini di tandai dengan surya sengkala Trus Karya Tataning Bumi atau kira-kira tahun 1549 Masehi dengan azas dugaan tanggal 12 Rabiul awal.

Sultan Hadiwijaya mewujudkan janjinya kepada orang-orang yang telah berjasa dalam menumpas Aya Penangsang dengan memberikan hadiah berupa jabatan dan daerah kekuasaan / bumi perdikan. Ki Juru Mertani dihadiahi dengan diangkat menjadi patih di Kasultanan Pajang, Alas mentaok (Mataram) diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan dan bumi Pati dihadiahkan kepada Ki Penjawi.

Sultan Hadiwijaya tidak langsung memberikan semua hadiah yang dijanjikannya. Pemberian hadiah Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan dan Sutowijoyo ditangguhkan dengan alasan Sutowijoyo sebagai anak angkat Sultan Hadiwijaya dan masih tinggal di Istana Pajang.

Sutowijoyo setelah sekian lama mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya (ayah angkatnya) bersama isteri-isterinya Ratu Mas, Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prehatin di Pajang kemudian terbetik niat untuk menagih janji hadiah yang pernah dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya. Karena takkunjung diberikan Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo diam-diam meninggalkan istana Pajang untuk membabat hutan Mentaok yang kelak menjadi kerajaan Mataram.

Setelah meninggalkan Pajang Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo kemudian membabat hutan Mentaok dan mendirikan pesanggrahan di kota Gede Yogyakarta. Sutowijoyo, Ki Ageng Pemanahan dan Rr. Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin beserta para pengikutnya turut mesanggrah di kota Gede tersebut. Selain membabat hutan Mentaok senopati perang Kerajaan Pajang ini juga ahli spiritual mengadakan interaksi dengan alam gaib penguasa laut selatan yang bernama "Nyai Loro Kidul". Beliau bersemedi ditemani oleh Ki Juru Mertani duduk di sebuah batu hitam yang kini dikenal dengan nama batu gilang. Batu gilang tersebut sebagai tanda bukti bekas telapak kaki dan tempat duduk yang membekas hingga sekarang. Di atas batu gilang itulah Senopati Sutowijoyo memperoleh pulung kerajaan sehingga kelak menjadi raja di tanah Jawa.

Pada saat inilah kelak menjadi embrio kesalahpahaman antara Pajang dan Mataram. Kesalahpahaman ini muncul ketika perilaku pembangkangan oleh Senopati Mataram (Raden Ngabehi Loring Pasar) putra dari Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram), Ia menjadi Senopati Mataram menggantikan ayahnya atas persetujuan raja Pajang dengan berbagai persyaratan, antara lain berkewajiban menghadap raja Pajang setiap tahun sebagai ukuran kesetiaannya. Namun apa yang terjadi, Senopati (Raden Ngabehi) pada tahun pertama diberi kelonggaran tidak diwajibkan menghadap ke Pajang. Tetapi kelonggaran itu justru disalahgunakan kesempatan, ia menyuruh rakyat Mataram membuat batu bata guna mendirikan tembok benteng, dan pada tahun berikutnya ia pun tetap tidak menghadap ke Pajang.

Kyai Gede Mataram dalam waktu singkat dapat menjadikan daerahnya-daerahnya sangat maju. Beliau sendiri tidak mengecap hasil usahanya karena meninggal dalam tahun 1575 tetapi puteranya yang bernama Sutowijoyo, melanjutkan usaha itu dengan sangat giat. Sutowijoyo dikenal sebagai seorang yang gagah berani, mahir benar dalam berperang, dan karena itu nantinya lebih terkenal sebagai Senopati Ing Alaga (Panglima Perang).

Sementara itu di Pajang terjadi perubahan politik. Joko Tingkir meninggal pada tahun 1582. Anaknya Pangeran Benowo, disingkirkan oleh Arya Pangiri (dari Demak) dan dijadikan Adipati di Jipang. Maka sebagai Sultan Pajang kini bertahtalah Arya Pangiri putera Sunan Prawoto, yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Demak.

Sultan Panggiri setelah naik tahta membuat perubahan kebijakan dengan tindakan-tindakannya yang merugikan rakyat segera menimbulkan rasa tidak senang di mana-mana. Kenyataan ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pangeran Benowo untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia meminta bantuan kepada Senopati dari Mataram, yang juga menginginkan robohnya Kerajaan Pajang dan sudah terlebih dahulu mengambil langkah-langkah untuk melepaskan daerahnya dari Pajang. Pajang diserang dari dua jurusan, dan Arya Panggiri menyerah pada Senopati. Pangeran Benowo sendiri tidak sanggup kalau harus menghadapi saudara angkatnya itu, maka bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Keraton Pajang dipindah ke Mataram, dan berdirilah kerajaan Mataram (1586).

Pengangkatan Senopati oleh dirinya sendiri menjadi raja Mataram dengan gelar "Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah". Bila diartikan " Panembahan yaitu orang yang disembah / dijunjung tinggi (dihormati). "Senopati" artinya : panglima perang. "Ing Alaga artinya : ditengah-tengah palagan / medan pertempuran, Sayidin Panatagama artinya "kepala agama", "Kalifatullah" artinya "wakil dari Allah".

ADIPATI WASIS JAYAKUSUMA (PRAGOLA PATI I)

Ki Ageng Penjawi setelah berhasil membantu Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pemanahan dan Sutowijoyo mengalahkan Aryo Penangsang dihadiahi oleh Sultan Hadiwijoyo bumi Pati dan diangkat menjadi Adipati Pati. Ki Ageng Penjawi setelah dinobatkan menjadi Adi Pati mulai tahun 1568-1577, menjalankan tugas dengan senang hati dan penuh rasa tanggungjawab. Ki Ageng Pemanahan dikenal sebagai sosok Bupati yang ramah, sopan, dan bijaksana sehingga diterima di hati rakyatnya.

Ki Ageng Penjawi berusaha untuk mendekatkan diri kepada para pemimpin di Pati seperti : Ki Gede Ragawangsa, Ki Gede Jiwanala, Ki Gede Plangitan dan Ki Gede Jambeyan. Tokoh-tokoh tersebut dikunjungi dan dimintai bantuan untuk turut membantu pembangunan di wilayah Kabupaten Pati. Pembangunan yang utama di wilayah Kabupaten Pati di bidang pertanian, peternakan dan perikanan sehingga Pati kini dijuluki Pati Bumi Mina Tani. Pati mengalami perkembangan yang sangat pesat kehidupan masyarakat aman, tentram damai dan sejahtera.

Ki Ageng Penjawi mempunyai dua orang putera. Yang pertama wanita bernama Rara Sari yang diperisteri oleh Panembahan Senopati Raja Mataram dan memperoleh sebutan Kanjeng Ratu Mas sedang putera keduanya bernama Raden Sidik atau Wasis Joyo Kusumo. Ki Ageng Penjawi setelah menjadi Bupati Pati kurang lebih 9 tahun, karena usianya telah udzur maka kedudukannya digantikan oleh puteranya yang bernama Raden Mas Sidik yang kemudian bergelar (Djajakoesoema I) atau yang lebih dikenal Bupati Wasis Jaya Kusumo (Adipati Pragola pati I). Bupati Paragola I dinobatkan menjadi Bupati Pati pada tahun 1577-1601.

Bupati Wasis Joyo Kusumo dikenal sebagai seorang Adipati yang jujur, berani, ksatria, dan sakti mandraguna dibandingkan adipati-adipati liannya di bumi Mataram. Kesaktian dan Kedigdayaan Wasis Jayakusuma ini sangat diperhitungkan oleh Panembahan Senopati sehingga beliau meminta bantuannya untuk membantu dalam perang melawan Madiun. Pembrontakan Madiun dalam waktu singkat dapat ditumpas bahkan Bupati Madiun menyerah kalah dan mengakui kekuasaan Mataram.

Bupati Wasis Jaya Kusumo kemudian melaporkan keberhasilannya kepada Panembahan Senopati di kerajaan Mataram dan menyerahkan harta rampasan perang termasuk putri boyongan Roro Ayu Retno Dumilah. Panembahan Senopati sangat berterima kasih atas keberhasilan Adipati Wasis Jayakusuma dalam menaklukkan Madiun.

Kadipaten Pati di bawah pimpinan Adipati Wasis Jayakusuma terkenal sangat aman, tenteram dan makmur. Sang Adipati gemar berkeliling mengunjungi desa satu ke desa lainnya dengan tujuan untuk lebih dekat dengan rakyatnya. Sewaktu mengelilingi desa-desa Sang Adipati mendapat laporan bahwa di Desa Kemiri ada seorang prawan desa yang hamil sendiri. Perawan desa itu bernama Rara Suli. Sang Adipati kemudian memanggil lurah Kemiri untuk turut bertanggungjawab agar permasalahan ini dapat terpecahkan. Rara Suli kemudian dipanggil Sang Adipati namun diam seribu basa, wajahnya pucat basi, badannya menggigil dan gemetar ketakutan. Sang Adipati meminta persetujuan orang tuanya agar Rara Suli tinggal di Kadipaten Pati untuk sementara waktu.

Sang Adipati menjadi cemas, siapakah yang menghamili Rara Suli. Sang Adipati kemudian memohon petunjuk kepada gurunya Ki Ajar Pulo Upih di Pulau Mandalika untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Sang guru menasehati agar Adipati Pati pergi ke Goa Gunung Patiayam karena di sana dihuni oleh manusia yang membahayakan. Setelah mendapatkan nasehat tersebut Sang Adipati segera pulang dan bersama prajurit-prajuritnya pergi ke gunung Pati Ayam. Gunung Goa Patiayam dikenal sebagai wilayah yang angker gawat maliwat-liwat jalmo moro jalmo mati, sato moro sato mati. Sesampainya di Goa Patiayam, melalui indera keenamnya Sang Adipati membau manusia yang ada didalamnya, maka disuruhkah ke luar. Dipanggil sampai dua kali tidak ke luar maka dengan kesaktiannya Sang Adipati mendatangkan air bah mengaliri goa hingga penuh. Tak lama muncullah sosok manusia asing dengan peraupan kulit putih bersih, wajah tampan, perawakan tinggi besar dan berambut pirang sedang memegang pedang tajam. Sang Adipati menanyakan namanya namun malah di tantang berkelahi. Nama saya Baron Sekeber dari Spanyol. Sedangkan kamu siapa ?. Saya adalah Adipati Pati Wasis Jayakusuma, apa kemauanmu Baron Sekeber mengganggu ketentraman Kadipaten Pati. Tidak banyak bicara Baron Sekeber segera menyerang Adipati Pati dengan pedangnya, berkali-kali sabetan pedang menghunjam di dada tetapi goresan bahkan tak ada bekas luka sedikitpun.

Adipati Pati kemudian menguji kesaktian Baron Sekeber dengan menghunjamkan keris rambut Pinutung didadanya berkali-kali tapi dan ada percikan darah dan luka sedikitpun. Baron Sekeber dan Adipati sama saktinya. Kemudian Sang Adipati Pati menantang Baron Sekeber adu kesaktian menyelam di laut. Baran Sekeber menjadi ragu menjawab tantangan Sang Adipati namun karena dia telah terbiasa main selancar dan menyelam maka tantangan tersebut diterimanya.

Rombongan berangkat naik kuda menuju laut Blenderan Gunung Clering. Para saksi dan prajurit Kadipaten Pati ikut membawa peralatan perlengkapan untuk adu kesaktian menyelam di air. Setiap jalan yang dilalui rombongan Sang Adipati, rakyat menjadi terheran-heran. Setelah tiba di tepi laut dan siap adu kekuatan menyelam. Begitu tanda mulai menyelam dibunyikan Sang Adipati dan Baron Sekeber secara bersamaan terjun ke laut. Setiap tatapan mata yang menyaksikan peristiwa ini hatinya berdebar-debar. Ada yang terdiam sedih, tapi ada yang mukanya pucat pasi dan cemas.

Para penonton terkejut melihat air tempat terjun Baron Sekeber berputar-putar melingkar cepat. Badan baron Sekeder mengapung di air laut dan kemudian ke tepi. Tidak lama kemudian Adipati Wasis Joyokusumo juga menyusul badannya mengapung dipermukaan air laut sehingga para prajurit dan para penonton diliputi perasaan cemas, dan khawatir atas keselamatan Sang Adipati. Setelah Sang Adipati tubuhnya bergerak-gerak dipusaran air para prajurit dan penonton bersurak surai.

Baron Sekeber menyerah kalah kepada Sang Adipati dan sanggup menerima hukuman apapun. Para prajurit menghendaki agar Baron Sekeber dihukum gantung. Sang Adipati dengan arif dan bijaksana menolak usulan dari prajurit dan akan memperlakukan sebagai tawanan perang serta akan membinanya. Baron Sekeber sebagai pihak yang kalah menyerahkan berbagai senjata yang dimilikinya seperti pedang, tameng, dan kere (baju) yang terbuat dari baja. Baron Sekeber kemudian dijadikan sebagai abdi Kadipaten Pati dengan pangkat Juru Taman. Tugasnya adalah mengatur dan merawat taman kaputeren serta mengurusi kuda tunggangan Adipati Wasis Jayakusuma.

Selama menjadi abdi Kadipaten Pati Baron Sekeber dikenal sebagai juru taman yang disiplin, rajin dan terampil. Tugas-tugas yang diberikan kepadanya semua dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Karena ketekunan dan kesabarannya taman keputren menjadi asri, dan nyaman. Selain mengurusi taman Baron Sekeber juga diberi kepercayaan untuk mengurusi kuda tunggangan. Kuda tersebut sehat-sehat dan gesit-gesit. Khusus kuda tunggangan sang Adipati Wasis Jayakusuma diberinama Juru Taman. Kuda Juru Taman warnanya hitam kelam, badannya tinggi panjang dan larinya kencang bagaikan kilat.

Suatu ketika Adipati Wasis Jayakusuma diperintahkan untuk menghadap Panembahan Senopati. Selama dua malam Baron Sekeber diserahi menjaga taman keputren. Sang Adipati tidak ragu-ragu lagi terhadap sikap Baron Sekeber yang dianggap sebagai sosok juru taman yang baik. Sang Adipati pergi sendiri ke Mataram dengan tanpa pengawal. Sesampainya di Mataram Sang Adipati diterima dengan ramah tamah dan penuh keakraban oleh Panembahan Senopati. Di benak Senopati penuh tanda tanya karena kehadiran sang Adipati begitu cepat. Utusan yang disuruh ke Pati saja belum kembali namun tamunya telah sampai di Keraton. Dalam pertemuan tersebut Panembahan Senopati mengatakan bahwa ia memiliki sapi piaraan yang berperawakan tinggi besar dan berkulit legam. Sapi tersebut sangat dicintai Sang Senopati dan diberi nama Sapi Pragola. Sang Senopati juga menanyakan kepada Adipati Wasis Jayakusuma yang masih adik iparnya. Karena perjalanan Pati sampai Mataram hanya ditempuh waktu dua jam. Senopati kemudian berkeinginan untuk menukarkan sapi Pragola dengan kuda Ki Juru Taman. Sebetulnya Adipati Wasis Jayakusuma masih mencitai kuda tunggangannya namun karena diminta oleh Panembahan Senopati maka kuda tersebut diberikan. Sejak itulah Adipati Wasis Jayakusuma diberi julukan Adipati Adipati Pargola Pati I.

Setelah menyerahkan kudanya, ada perasaan yang aneh dialami oleh Adipati Wasis Jaya Kusuma, saat menyerahkan kudanya raut Senopati menampakkan adanya suatu permasalahan penting yang harus disampaikan / dibicarakan. Adipati Pragola mengharapkan agar malam itu juga Senopati menyampaikan permasalahan tersebut. Senopati menyampaikan permasalahannya tentang putri boyongan dari Madiun yang bernama Retno Dumilah akan jadikan sebagai garwo Prameswari. Mendengar ucapan Senopati tersebut Adipati Pragola perasaannya bagaikan disambar petir, namun tetap berusaha untuk menahan emosinya. Adipati Pragola Pati hanya bisa pasrah dan menerima keadaan kakaknya Ratu Mas, karena pantang untuk mencampuri urusan rumah tangganya. Setelah semua urusan selesai tidak ada yang dibicarakan lagi, Adipati Pragola Pati kemudian mohon pamit dan undur diri untuk kembali ke Pati dengan menaiki Lembu Pragola. Menjelang subuh Adipati Pragola sudah sampai di Pendopo Kabupaten Pati dan turun dari Lembu tunggangannya dan langsung menuju taman keputren untuk menemui Ki Juru Taman karena tidak ada di pos penjagaan. Pintu taman keputren terkunci dari dalam dan Adipati Pragola curiga terhadap Rara Suli. Sang Adipati marah, pintu dibuka secara paksa dan ternyata di dalam telah ada Baron Sekeber dan Rara Suli sedang memadu kasih. Sang Adipati murka dan kecewa bahwa Danur Wendo dan Sirwindo adalah hubungan gelap dari Baron Sekeber dan Rara Suli. Adipati Pragola kemudian memerintahkan para prajurit untuk menangkapnya. Baron Sekeber kemudian diberi hukuman mati oleh Adipati Pragola Pati setelah mendapat persetujuan dari punggawa Kadipaten.

PENGEMBARAAN SURO KADAM KE KERAJAAN MATARAM YOGYAKARTA

Desa Sukolilo merupakan Kademangan di bawah kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo. Sedang Demang di Sukolilo pada saat itu adalah Suro Kerto. Suro Kerto adalah salah satu dari limalima saudara yang semuanya laki-laki inilah maka terkenal dengan sebutan "Pendowo Limo". bersaudara. Adapun nama-namanya yaitu : Suro Kadam, Suro Kerto, Suro Yudo, Suro Dimejo, dan Suro Noto. Oleh karena

Kelima orang yang di kenal “Pendowo Limo” ini konon berasal dari keturunan bangsawan Kesultanan Mataram Ngayogyokarto Hadiningrat. Adapun silsilahnya sebagai berikut :

1. Sindu Joyo (Kancing Joyo) bermakam di Kancil, Wono Kusumo, Sumber Soko Sukolilo.

2. Kulmak Singo Yudo Pono, bermakam di Makam Gedong ± 100 m Talang Tumenggung arah tenggara.

3. Singo Prono di Guwo Manik Moyo Jati Pohon Grobogan.

4. Den Karsiyah, bermakam di Talang Penganten Tengahan Sukolilo

5. Pendowo limo adalah keturunan dari kulmak Singo Yudo Pono (anak ke-2).

Suro Kadam (pendowo tertua) di suatu malam memperoleh wangsit untuk melaksanakan pengembaraan ke arah selatan menuju ke Kerajaan Mataram. Dari wangsit ini membuat Suro Kadam terbetik hatinya pergi mengembara ke tanah leluhurnya di ke kerajaan Mataram. Suro Kadam kemudian memohon ijin, dan do’a restu kepada keempat saudara kandungnya serta para sesepuh dan kerabat dekatnya. Keempat saudaranya memberikan dorongan semangat, do’a restu bahkan turut memberikan bekal jalan seadanya. Perjalanan pengembaraanya dilakukan berhari-hari dengan berjalan kaki dan singgah diberbagai daerah. Pengembaraan di awali dari Sukolilo, ke arah selatan menuju Sukowati (Purwodadi), Tingkir (Kartasura), Perambanan, dan akhirnya sampai di alun-alun keraton Yogyakarta. Suro Kadam karena berjalan jauh maka badannya kelelahan, kemudian beristirahat dengan menyandarkan badannya di bawah pohon wandera (ringin).

Di saat Suro Kadam beristirahat di bawah pohon wandira, tiba-tiba dari arah depan terlihat para prajurit lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari amukan seekor gajah titihan sang sultan yang lepas dari wantilan (ikatan), karena baru saja ki juru srati (pemelihara) gajah tersebut meninggal dunia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjinakkan gajah tersebut, namun sia-sia. Gajah tetap mengamuk dengan ganasnya mengobrak-abrik apa saja yang ditemuinya. Gajah titian sultan dengan ganasnya mendatangi Suro Kadam yang sedang beristirahat. Suasana mencekam dan membuat banyak orang yang menyaksikan hatinya berdebar-debar, kalau-kalau Suro Kadam menjadi sasaran amukan gajah sehingga membahayakan keselamatan jiwanya. Suro Kadam bangun dan terperanjak dari istirahatnya untuk turut menangkap gajah yang sedang mengamuk tersebut. Suro Kadam memperhatikan gerak gerik sang gajah sambil bersiap-siaga, dengan mengerahkan ilmu “pembrayunya” (ilmu untuk menjinakkan binatang). Suro Kadam mengatung-atungkan tongkatnya yang biasa digunakan untuk memikul bekal perjalanannya. Gajah dengan bengisnya menyergap Suro Kadam dengan belalainya dan mengangkat tubuhnya. Namun terjadilah keajaiban yang luar biasa. Suro Kadam tidak dibanting seperti dugaan para prajurit, tetapi dengan pelan-pelan ditempatkan di punggungnya. Untuk selanjutnya gajah dapat dijinakkan. Berkat kebijaksanaan sang Panembahan Senopati, Suro Kadam diangkat menjadi abdi dalem kesultanan sebagai juru srati gajah menggantikan srati yang meninggal, dan diberi gelar Raden Ngabehi Suro Kadam. Suro Kadam konon juga pernah membawa pulang gajah titian Panembahan Senopati ke Sukolilo di Dukuh Sanggrahan dan pernah ditampatkan di pohon blimbing yang kini pohonnya telah ditumbangkan karena sudah gagar.

PERLAWANAN ADIPATI PATI PRAGOLA PATI I TERHADAP PANEMBAHAN SENOPATI MATARAM

Setelah Panembahan Senopati diangkat menjadi raja Mataram mendapat banyak tantangan, karena menunjukkan politik ekspansinya. Bentrokan pertama terjadi dalam tahun 1586, dengan Surabaya. Dengan perantaraan Sunan Giri pertumpahan darah yang lebih hebat dapat dicegah. Surabaya tetap bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Dalam tahun itu juga Senopati menghadapi perlawanan kuat dari Madiun Ponorogo namun dapat segera dipatahkan. Pada tahun 1587 Senopati mampu menggempur pasuruhan bersama Panarukkan dan pada tahun 1595 menaklukkan Cirebon dan Galuh. Sedangkan Demak membrontak tentara mereka bahkan dapat mendekati ibu kota Mataram. Tetapi Senopati dapat meredam pembrontakan tersebut dengan pasukan berkudanya.

Mataram berubah menjadi kerajaan besar dengan Panembahan Senopati sebagai rajanya. Kerajaan-kerajaan di sekitarnya ditaklukkan termasuk Kerajaan Pajang. Senopati berambisi menjadi raja yang besar dengan mempunyai kekuasaan wilayah yang luas. Untuk mengukur kesetiaan para Adipati terhadap rajanya maka Senopati mengadakan Pisowanan Agung satu tahun sekali bagi para Adipati yang dilaksanakan pada tanggal 12 Robiul Awal bersamaan dengan perayaan Skaten.

Dalam sebuah pisowanan agung para Adipati di Mataram yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senopati, yang tidak hadir adalah Adipati Pragola Pati I. Ketidak hadiran sang Adipati dengan alasan Pati merupakan bumi perdikan yang memiliki kedudukan sama dan bukan bawahan Mataram. Hal ini didasari atas hadiah tanah perdikan yang diberikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Penjawi atas jasanya mengalahkan Adipati Arya Penangsang. Selain itu, Adipati Pati Pragola I kecewa terhadap sikap dan sifat Panembahan Senopati yang telah menukar kuda tunggangannya Ki Juru Taman dengan Sapi Pragola serta perlakuannya kepada kakaknya Ratu Mas yang hanya dijadikan sebagai garwo selir bukan sebagai garwo Prameswari, malah yang dijadikan Retno Dumilah putri boyongan dari Madiun yang dijadikan sebagai garwo prameswari.

Atas dasar alasan itulah, maka Adipati Pati Wasis Joyokusuma tidak mau menghadiri pisowanan agung yang diadakan di Keraton Mataram. Panembahan Senopati menganggap ketidak hadiran Adipati Pati Wasis Jayakusuma sebagai bentuk pembangkangan dan dianggap mau mengadakan kraman (pembrontakan). Panembahan Senopati demi ambisi kekuasaannya lupa akan teman seperjuangan, sahabat bahkan iparnya sendiri. Adipati Pragola Pati I sebetulnya banyak berjasa dalam membantu mewujudkan perjuangan Panembahan Senopati yakni mengalahkan Arya Penangsang, membantu dalam menaklukkan Madiun bahkan memberikan putri boyongan Retno Dumilah yang dijadikan sebagai garwo prameswari, memberikan kuda tunggangan Ki Juru Taman dan bantuan lainnya. Namun Panembahan Senopati tetap berusaha untuk menggempur Pati. Panembahan Senopati dalam menggempur Pati sangat berhati-hati karena Bupati Pati Wasis Joyokusumo dikenal sebagai salah seorang yang memiliki kanuragan tinggi, daya kesaktian yang menakjubkan serta memiliki keris pusaka Rambut Pinutung dan Kolok Kanigoro, Kere Wojo, rampasan dari Balon Sekeber yang dapat menambah kesaktiannya dalam pepatah jawa Ora tedhas Tapak Palune Pandhe sisaning gurindo. Oleh karena itu, sebelum menggempur Pati terlebih dahulu mengirimkan telik sandi ke Pati. Telik sandi ini dipercayakan kepada Suro Kadam seorang Juru Srati Gajah Panembahan Senopati yang kebetulan berasal dari Sukolilo Pati. Suro Kadam dianggap mengetahui keadaan geografis wilayah Pati. Setelah informasi didapatkan maka dikirimkanlah ribuan prajurit untuk menggempur Pati. Untuk menggempur Pati Panembahan Senopati memerintahkan ke 4 perwira terbaiknya dan isteri selirnya bernama Roro Ayu Semangkin untuk menumpas kraman tersebut. Adapun ke 4 perwira masing-masing :

1. Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among, orang menyebut Cinde Amoh.

2. Kanjeng Raden Tumenggung Raja Meladi, orang menyebut Roro Molo.

3. Kanjeng Raden Tumenggung Candang Lawe orang menyebut Raden Slendar.

4. Kanjeng Raden Tumenggung Samirono, orang menyebut Raden Sembrono.

Keempat perwira beserta para prajurit dan pasukannya setelah mendapatkan tugas dan restu dari Kanjeng Sultan kemudian segera berangkat ke medan perang. Keempat perwira tersebut mendapatkan tugas masing-masing sesuai dengan strategi yang digunakan dalam berperang. Suro Kadam mendapat tugas sebagai penunjuk jalan dan sekaligus sebagai prajurit telik sandi. Sebagai prajurit Telik Sandi Suro Kadam bertugas sebagai mata-mata. Agar berhasil dalam menjalankan tugas maka dia mengadakan penyamaran dan bergabung dengan masyarakat. Suro Kadam menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian dan kehati-hatian. Suro Kadam dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Suro Kerto adik kandungnya sendiri. Atas keberanian dan kehati-hatian tersebut Suro Kadam dapat memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo beserta pasukannya. Dengan informasi yang tepat inilah keempat perwira dari Kasultanan Mataram kemudian mengadakan koordinasi, bermusyawarah untuk mengatur strategi perangnya agar dapat mengalahkan pasukan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo.

Sementara itu Adipati Pragola Pati I dalam menghadapi pasukan Panembahan Senopati tidak gegabah, karena Mataram adalah kerajaan yang besar dan kuat. Adipati Pragola I mengambil langkah dengan mengumpulkan para punggawanya di pendopo Kabupaten Pati untuk memberikan penjelasan mengenai strategi mempertahankan wilayah. Strategi pertama yang diterapkan adalah penguasa sementara Kabupaten Pati diserahkan kepada Patih Penjaringan. Kedua, setiap kepala rumah tangga harus mengamankan wilayah seluas pekarangan masing-masing. Ketiga, yang menghadang prajurit Mataram adalah Adipati Pragola sendiri dengan maksud bertemu dan perang tanding dengan Panembahan Senopati.

Adipati berangkat meninggalkan pendopo Kadipaten menuju ke medan laga dikawal oleh sepuluh prajurit berkuda terbaiknya. Adipati Pragola Pati mengobarkan semangat para prajuritnya untuk bertanding melawan musuhnya sampai titik darah penghabiasan.

Dari arah yang berlawanan mulai tampak ribuan prajurit Mataram dengan senjata tombak, panah, pedang dan bambu runcing siap di tangan. Pasukan Surakarsan, Patang Puluhan, Prajurit Wirobrajan dikerahkan turut berperang. Pasukan berkuda, dan Infanteri digelar sepapankan, bendera umbul-umbul lambang kebesaran Matam di arak ditempatkan diiringan paling depan. Prajurit Mataram dengan semangat membara dengan berteriak-teriak serbu…, serbu…, Ayo Hancurkan Pati….Tangkap Adipati Wasis Jaya Kusumo hidup atau mati. Hiruk pikuk, suasana menegangkan. Sedangkan Adipati Pati bersama sepuluh prajurit terbaiknya menghadang pasukan Mataram. Adipati Pati dikeroyok beramai-ramai oleh prajurit Mataram dengan ditombak bertubi-tubi, disabet pedang namun tak mempan dan tidak terluka sedikitpun terluka sedikitpun sehingga membuat pasukan Mataram menjadi keder. Para prajurit Mataram banyak lari terbirit-birit, kocar kacir dan mundur. Adipati Pati beserta sepuluh prajurit terbaiknya mengejar pasukan hingga sampai ke daerah perbatasan tepatnya di sekitar Dengkong sebelah Timur Perambanan. Nyali Adipati Pragola Pati tidak ciut menghadapi ribuan prajurit Mataram. Satu persatu dihajar tanpa ampun. Lagi-lagi pasukan Mataram ditarik mundur. Kali ini melewati perbatasan wilayah Mataram.

Mengetahui para prajurit Mataram sudah melewati perbatasan dan meninggalkan wilayah Pati, Adipati Pragola berhenti melakukan pengejaran dan menunggu munculnya Panembahan Senopati. Adipati Pati menarik Pasukannya di bukit gunung Ungaran dan membangun pertahanan di sana serta mendirikan pesanggrahan di Desa Plawangan, Gunung Pati Semarang. Adipati Pati wafat pada tahun 1600 M. Setelah beliau wafat digantikan oleh puteranya Adipati Djayakusuma II dengan gelar Adipati Pragola II dan memerintah dari tahun 1601-1628. Demikian pula Panembahan Senopati Wafat pada tahun 1601 dan digantikan oleh puteranya bernama Mas Jolang atau Sultan Anyokrowati (Pangeran Sedoingkrapyak). Setelah Mas Jolang wafat digantikan oleh Sultan Agung Anyokrokusumo. Pada masa ini juga terjadi peperangan antara Pati dan Mataram karena Sultan Agung menjalankan politik ekspansinya untuk menguasai daerah pesisir Jawa termasuk Pati.

SEJARAH TRADISI MERON

Sejarah atau asal usul meron tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkan cerita legenda dari para sesepuh desa, dan keturunan dari Demang Sukolilo diperoleh cerita tentang sejarah Meron. Upacara tradisi Meron di Sukolilo diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Kasultanan Mataram (permulaan abad 17), Desa Sukolilo merupakan Kademangan di bawah kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo. Sedang Demang di Sukolilo pada saat itu adalah Suro Kerto. Suro kerto adalah salah satu dari limalima saudara yang semuanya laki-laki inilah maka terkenal dengan sebutan "Pendowo Limo". Pendowo Limo Sukolilo ini adalah keturunan bangsaawan Kesultanan Mataram Ngayogyokarto Hadiningrat. saudara. Adapun nama-namanya yaitu : Suro Kadam, Suro Kerto, Suro Yudo, Suro Dimejo, dan Suro Noto. Oleh karena

Suro Kadam (pendowo tertua) bermaksud ngulandoro (mengembara) ke Mataram sambil menengok tanah kelahiran leluhurnya. Setelah mohon restu pada saudara-saudaranya berangkatlah ia ke selatan menuju Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Sesampainya di alun-alun kerajaan Mataram Suro Kadam beristirahat di bawah pohon Wandira ( Ringin ) tiba-tiba dari arah depan terlihat para prajurit lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari amukan seekor gajah titihan sang Sultan yang lepas dari wantilan, karena baru saja juru srati gajah tersebut meninggal dunia. Gajah titian Sultan berhasil dijinakkan oleh Suro Kadam. Atas keberhasilan Suro Kadam dalam menjinakkan gajah tersebut maka dia diangkat menjadi juru Srati dan diberi gelar “Raden Ngabehi Suro Kadam.

Pada saat pecah perang antara Panembahan Senopati dengan Adipati Pati Wasis Joyo Kusuma Suro Kadam dipercaya sebagai telik sandi untuk mengamat-amati dan memberikan informasi tentang keadaan Pati. Suro Kadam bersama keempat perwira yang ditugasi menumpas perlawanan Adipati Pati yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among, Kanjeng Tumenggung Raja Meladi, Kanjeng Raden Tumenggung Candang Lawe, dan Kanjeng Raden Tumenggung Samirono.

Setelah perang usai sekitar tahun 1600 Adipati Pragola Pati I wafat maka sisa-sisa prajurit Mataram, yang bertugas dan berjaga-jaga di wilayah Kademangan Sukolilo / dilereng pegunungan Kendeng tidak pulang ke Mataram namun mesanggrah di Kademangan di Kademangan Sukolilo.

Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para prajurit ingat bahwa tanggal 12 Maulud di keraton Mataram diadakan upacara Skaten. Panembahan Senopati senantiasa menggunakan perayaan sekaten sebagai arena pertemuan para prajurit dan para punggawa untuk pisowanan agung dan sebagai tolak ukur kesetian. Agar para prajurit tidak dianggap akan melakukan keraman / pembangkangan maka dikirimkan perwakilan prajurit yang sedang mesanggrah di Kademangan Sukolilo untuk memohon ijin untuk tidak pulang ke Mataram dengan alasan berjaga-jaga. Selain itu, utusan tersebut juga menyampaikan permohonan ijin untuk mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana adat Kasultanan setiap tahunnya. Berkat pilihan Dalem (ijin), Kademangan Sukolilo diperkenan untuk mengadakan perayaan serupa setiap tahunnya. Namun istilahnya bukan lagi Sekaten tetapi Meron. Tradisi ini dilestarikan oleh masyarakat sampai sekarang.

Sedangkan tempat berkumpulnya para Tumenggung untuk bertirakat sekarang dikeramatkan dengan nama Talang Tumenggung, sedang daerah tempat mesanggrah, sekarang menjadi Dukuh Pesanggrahan. Diantara ke 4 Tumenggung tersebut ada yang meninggal di Kademangan Sukolilo, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among dan dimakamkan di makam Sentono Pesanggrahan (± 300 meter arah Timur Laut Talang Tumenggung ).

HAKEKAT TRADISI UPACARA MERON

1. Pengertian Meron

Meron dalam bahasa kawi di artikan gunung. Meron diartikan gunung karena bentuknya seperti gunungan. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari kata Merong yang berarti perang. Karena Meron diadakan dalam situasi perang. diartiakan perang perang. Selain itu, Meron diartikan “emper” (serambi) karena sebelum diarak, dipajang di emper rumah kediaman pemiliknya. Meron dalam bahasa Arab berasal dari kata : Mi’roj yang berarti kemenangan / ke atas dan dalam Kirata Basa (Jawa) : me yang berati “rame”, ron yang berati “tiron”. Meron berarti “ramene tiron-tiron” (Ramainya meniru) karena Meron ini merupakan bentuk tiruan dari Skatenan di Yogyakarta.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Meron diartikan gunungan, perang, serambi dan meniru. Meron diartikan gunungan karena bentuknya menyerupai gunung. Meron diartikan perang karena diadakan dalam suasana perang dan Meron diartikan emper karena dipajang didepan serambi pemiliknya serta Meron diartikan Mi’roj atau naik ke atas dan ramainya karena menitu tradisi upacara Skaten di Yogyakarta.

2. Tujuan diadakannya Meron

Meron diadakan dengan tujuan untuk melestarikan tradisi budaya masyarakat secara turun temurun dalam memperingati kelahiran Nabi Agung Muhammad S.A.W. dan sebagai wahana untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu upacara Tradisi Meron diadakan untuk mewujudkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat karunia dan rizqi bagi masyarakat; Sebagai wahana untuk melaksanakan upacara tahunan (sedekah bumi); Mengembangkan persatuan dan kesatuan antar warga masyarakat yang melaksanakan tradisi tersebut; Mengembangkan tradisi dan budaya masyarakat secara turun temurun; Sebagai arena promosi pariwisata khususnya wisata ritual bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Pati.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan di adakannya tradisi upacara meron adalah untuk mewujudkan rasa syukur kepada Allah atas lahirnya Nabi Muhammad S.A.W. yang telah memimpin umat sehingga meron memiliki tujuan utama untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, dan sebagai wahana sedekah bumi dan mengembangkan budaya serta mempromosikan wisata di wilayah Kabupaten Pati.

PROSESI TRADISI MERON

Setelah para prajurit Mataram yang mesanggrah di Desa Sukolilo mendapatkan palilah dalem Panembahan Senopati untuk mengadakan acara Meronan di Sukolilo untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad S.AW yang tepatnya pada tanggal 12 Robiul Awal. Maka Suro Kadam atas permohonan dari rakyatnya juga mohon ijin kepada Sultan untuk melanjutkan tradisi Meronan di Sukolilo setiap tahun sekali. Namun pelaksanaan tradisi Meronan di Sukolilo menganut tahun Aboge (Rebowage) sehingga kebanyakan dilaksanakan pada tanggal 13 Robiul awal atau sehari setelah pelaksanaan sekatenan di Kasultanan di Yogyakarta karena pelaksanaan Skaten tetap tanggal 12 Robiul Awal.

Prosesi upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo Pati dilaksanakan secara bertahap yaitu mulai tahap persiapan, pelaksanaan prosesi dan pasca prosesi. Pada tahap persiapan terdiri dari pembentukan kepanitiaan, penentuan waktu, acara, penentuan tamu undangan, melaksanakan kegiatan administrasi, publikasi. Tahap pelaksanaan prosesi terdiri dari upacara pendahuluan, pemberangkatan “Meron / Gunungan” dan kegiatan prosesi di akhiri dengan do'a bersama. Sedangkan kegiatan pasca prosesi yaitu mengarak kembali Meron / Gunungan ke rumah perangkat desa yang bersangkutan. Adapun kegaiatan prosesi tradisi Meron masing-masing dapat diilustrasikan secara sistematis sebagai berikut :

1. Persiapan pelaksanaan tradisi Meron

a. Pembentukan panitia

Sebelum pelaksanaan prosesi upacara tradisi Meron persiapan yang dilaksanakan oleh panitia adalah mengadakan rapat pembentukan panitia. Dalam rapat pembentukan panitia ini dibentuk ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi antara lain : seksi acara, konsumsi, perlengkapan, akomodasi, seksi upacara (serimonial), seksi transfortasi, P3K (palang merah), keamanan, publikasi dan dokumentasi. Panitia ini dibentuk dengan harapan agar pelaksanaan dapat berjalan lancar sesuai dengan tugas-tugas kepanitiaan yang diembannya. Selain itu juga mempersiapkan pemberitahuan kemacetan jalan yang ditempatkan di pertigaan depan pasar Cengkalsewu dan dipertigaan jalan Getas yang menghubungkan jalur Grobogan Kudus dan juga mempersiapkan karcis untuk penarikan retribusi bagi para pedagang kaki lima.

b. Penentuan waktu dan acara

Setelah panitia terbentuk maka dilanjutkan penentuan waktu pelaksanaan. Setelah waktu pelaksanaan ditentukan kemudian menyusun berbagai mata acara yang akan digelar. Selain itu menentukan tamu undangan yang akan diundang. Penentuan waktu dan acara ini diagendakan oleh sekretaris dan seksi acara kemudian dilanjutkan publikasi kemasyarakat luas.

c. Berziarah ke makam Tumenggung Cinde Among

Kepala desa, perangkat desa, dan panitia penyelenggara Meron sehari menjelang diadakannya prosesi perayaan Meronan diadakan acara berziarah ke makam Tumenggung Cinde Among, dengan maksud memohon ijin, dan meminta do’a restu agar pelaksanaan Meronan dapat berjalan tanpa suatu aral apapun.

d. Mempersiapakan berbagai uborampe (bahan sesaji) dan peralatan perlengkapan yang digunakan

Sebelum diadakan perayaan Meronan persiapan pertama yang dilaksanakan seperti (ancak, mustoko Meron / gunungan, bendera / umbul-umbul, dekorasi, panggung) dan berbagai kelengkapan lainnya. Uborampe sesaji yang pertama kali dipersiapkan adalah pembuatan ampyang. Pembuatan ampyang dilaksakan 36 (tiga puluh enam ) hari atau " selapan dino". Persiapan ini dilaksakan dengan alasan agar ampyang yang dibuat benar-banar berkualitas dan kering betul sehingga ampyang tersebut tidak "amem" atau "mlempem". Dalam persiapan pertama ini para perangkat desa beserta isterinya / suaminya mengadakan tirakatan dan kendurian. Ancak badannya sudah dibuat dan digunakan secara turun temurun. Karena terbuat dari kayu jati sehingga ancak tersebut tahan lama, hanya saja yang dipersiapkan adalah perlengkapan yang lain seperti kertas krep, janur, berbagai aneka daun dan sebagainya. Mustoko Meron di persiapkan 7 hari menjelang pelaksanaan prosesi mustoko Meron ini dihiasi dengan jago yang terbuat dari kertas. Selain itu uborampe yang lain juga dipersiapkan untuk melengkapi dan memeriahkan suasana seperti umbul-umbul, bendera, dan beraneka ragam asesories, dan hiasan-hiasan baik yang terbuat dari kertas berwarna-warni juga janur.

Untuk keperluan pentas seni dan prosesi upacara juga dilengkapi dengan panggung terbuka dan tratag baik yang diletakkan di depan rumah kepala desa maupun di halaman masjid Agung Sukolilo.

e. Tirakatan

Tirakatan dibagi dalam dua bagian yaitu :

1) Tirakatan yang dilaksanakan di rumah para perangkat desa, yang mendapatkan jatah dan dirumahnya disemayamkan Meron. Biasanya tirakatan ini dilaksanakan dalam waktu malam hari.

Tirakatan yang dilaksanakan di rumah para perangkat ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu :

a) Tirakatan pertama, dilaksanakan pada saat memulai pembuatan ampyang yaitu 36 hari / selapan dino. Tirakatan ini hanya bagi keluarga perangkat desa.

b) Tirakatan kedua, dilaksanakan pada saat 7 hari menjelang dilaksanakannya prosesi perayaan Meronan. Pada tirakatan yang kedua ini dihadiri oleh kerabat, sanak, saudara, handaitaulan dan tetangga serta warga sekitar di lingkungan perangkat desa tersebut.

c) Pada tirakatan yang kedua ini, suasananya sangat meriah karena masyarakat mengadakan pasar malam yang lokasinya di depan pasar sampai depan masjid Agung Sukolilo. Selain itu para santri mengadakan "berjanjen" membaca "Taarikh Nabi Muhammad" baik di masjid-masjid atau musholla-musholla. Setelah "berjanjen" para santri sehabis sholat Isya' kemudian banyak yang melihat-lihat keramaian dan berjajan setelah itu bergabung di rumah-rumah perangkat desa untuk mengadakan tirakatan bersama masyarakat.

2) Tirakatan yang dilaksanakan di rumah kepala desa

Menjelang hari pelaksanaan upacara perayaan / prosesi Meron para perangkat desa dan masyarakat berkumpul di rumah kepala desa sambil mengadakan tirakatan. Dalam tirakatan ini untuk memeriahkan suasana diselingi dengan hiburan rakyat. Hiburan rakyat seperti terbangan, kasidah, rebana, barongan, leang-leong, tong-tek dan kesenian lainnya yang merupakan sumbangan dari warga. Sedangkan untuk sarana wejangan bagi para perangkat desa dan masyarakat yang hadir maka diadakan kesenian wayang. Pagelaran wayang kulit diadakan semalam suntuk di rumah kepala desa. Dan selain wayang kulit juga kadang dimeriahkan kesenian ketoprak, tergantung dari permintaan masyarakat. Namun yang sering dipentaskan sebagai sarana wejangan adalah wayang kulit.

2. Tahap Pelaksanaan (Prosesi)

Setelah semalam suntuk mengadakan tirakatan, pagi harinya kepala desa Sukolilo dan perangkatnya, mengadakan upacara ritual sendiri-sendiri. Ada diantara perangkat yang mengadakan ritual pada saat matahari terbit mereka keluar dari rumah dan menghadap ke arah timur / matahari terbit seraya memanjatkan do'a agar perayaan Meronan yang akan dilaksanakan nanti berjalan tanpa halangan suatu apapun dan diberikan suatu petunjuk / penerangan apabila mendapatkan hambatan / atau kesulitan. Setelah upacara ritual dilaksanakan maka kepala desa dan perangkatnya segera memerintahkan panitia pembuat Meron untuk melengkapi Meronnya dengan berbagai hiasan dan berbagai uborampe yang dipersiapkan untuk membuat Meron.

Setelah Meron terbentuk maka sehari sebelum hari H Meron dipayu. Pada saat memayu Meron, kepala desa dan perangkat desanya mengadakan selamatan jenang merah putih, jadah pasar, kembang dan uborampe lainnya yang peserta hajatannya warga setempat dan saudara serta masyarakat yang bergotong-royong membuat Meron. Selamatan membuat Meron selesai dilanjutkan peletakkan Meron di emperan rumah masing-masing dan menunggu upacara pemberangkatan. Persiapan dirasa sudah matang maka prosesi upacara Meron dilaksanakan. Adapun urut-urutan acaranya adalah sebagai berikut :

a. Pemberangkatan Meron

Sebelum diberangkatkan Meron disemayamkan dulu di emperan. Para busana Jawa (Beskap) yang dirias oleh perias. Setelah dandanan siap kemudian diadakan selamatan pemberangkatan yang pesertanya adalah warga sekitar, para kerabat, pangombyong dan tamu undangan yang hadir, tidak ketinggalan segenap panitia dan masyarakat yang membantu dalam pembuatan Meron. Selamatan selesai para perangkat desa diarak keluar rumah kira-kira pukul 10.30 WIB menuju ketempat kepala desa dengan diiringi oleh para pengiring dan diselingi berbagai macam tabuh-tabuhan, gamelan, rebana, terbangan, dan kesenian lainnya. Para perangkat desa berjalan di depan dan diiringi oleh para pengiring. Di depan iring-iringan perangkat desa adalah Barongan. Dibelakang arak-arakan perangkat desa ini terdapat iber-iber / nasi kenduri (sesaji) yang diletakkan pada dua buah ancak bambu berbentuk persegi yang dibalut dengan kulit pohon pisang. Iber-iber inilah yang nantinya diperbutkan sebagai nasi bertuah. Biasanya iber-iber tidak sempat dibagikan karena begitu dikeluarkan dari rumah sudah diperebutkan. Sedangkan dibelakang iber-iber terdapat rombongan pemikul Meron yang terdiri dari 12 orang, 10 orang yang memikul Meron dan 2 orang bertugas memegang tongkat "tuak" yang digunakan untuk "menuak" agar Meron tidak miring (doyong) kekiri maupun ke kanan. perangkat desa peserta upacara prosesi berserta keluarga berdandan dengan memakai pakaian

Meron yang dalam ancak pertama terdapat nasi ruroh diperebutkan oleh masyarakat setelah dipikul dan keluar dari rumah. Setelah nasi ruroh diperebutkan kemudian Meron dibawa menuju ketempat yang telah ditentukan bersamaan dengan rombongan perangkat desa. Meron setelah diletakkan dipajang disepanjang jalan antara pasar dan masjid ke utara. Aturan penempatan yaitu dibagian masjid ke selatan ditempati sekretaris desa dan perangkat lainnya. Sedangkan di ujung masjid ke utara diletakkan Meronnya Kadus beserta perangkat yang lainnya, yang ditutup juga dengan kaur kesra / Modin.

Setelah Meron diletakkan di tempatnya masing-masing mustoko Meron dinaikkan dan disaksikan oleh perangkat desa masing-masing yang memiliki Meron tersebut. Sesaat menyaksikan Meron para perangkat kemudian bersama-sama menuju ke rumah kepala desa dan berkumpul dengan maksud menghampiri untuk diajak bersama menuju ke tempat prosesi. Melalui perangkat yang tertua menyampaikan kepada kepala desa bahwa semua perangkat desa beserta rombongannya telah hadir dan siap untuk beragkat bersama-sama menuju ke masjid Agung untuk mengadakan perayaan Meronan. Setelah perwakilan dari perangkat desa menyampaikan kesiapannya kepala desa mengajak tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintahan dari Kabupaten Pati, unsur Muspika Kecamatan Sukolilo, tamu undangan untuk turut serta kirab menuju ke masjid Agung tersebut.

Dalam acara kirab ini kepala desa, beserta perangkatnya serta diikuti oleh tamu undangan dari berbagai unsur tersebut berjalan menuju ke halaman masjid Sukolilo untuk melaksanakan prosesi. Pada pemberangkatan kirab ini dibelakang iring-iringan kepala desa, tamu undangan terdapat pula iber-iber, dan rombongan pembawa Meron. Iber-iber dan rombongan pembawa Meron ini kemudian membagikan sesaji kepada masyarakat. Namun karena banyaknya masyarakat dan pengunjung maka sesaji tersebut tidak sempat dibagikan tetapi diperebutkan oleh masyarakat karena makanan tersebut dianggap bertuah dan mengandung berkah yang dapat digunakan untuk obat, rabuk tanaman, penglarisan dan diyakini juga oleh masyarakat yang lama tidak memiliki keturunan segera dikarunia keturunan, yang sulit mendapatkan jodoh setelah memakan sesaji tersebut segera dimudahkan jodohnya.

Sesampainya di depan masjid Agung Sukolilo kepala desa, perangkat desa dan peserta kirab berhenti sejenak untuk menyaksikan mustaka Meron kepala desa dinaikkan ke atas persis di depan masjid Agung disejajarkan dengan Meron-meron perangkat desa. Setelah berhenti sejenak menyaksikan naiknya mustoko Meron, kemudian masuk ke halaman masjid untuk mengadakan prosesi (Ali Zuhdi, 2003).

b. Prosesi perayaan Meron

Setelah rombongan kirab memasuki halaman masjid, segenap panitia dan among tamu mempersilahkan agar peserta kirab dan tamu undangan duduk di tempat yang telah ditentukan. Kepala Desa Sukolilo menempatkan diri di tempat yang telah ditentukan yaitu dibarisan paling depan dan urut sesuai dengan urutan Meron. Prosesi perayaan Meron dilaksanakan tepat pada pukul 12. 00 WIB. Sebelum dilaksanakan upacara prosesi Meron maka diadakan upacara pendahuluan dengan mata acara :

1) Pembukaan

Acara pembukaan dilaksanakan oleh pembawa acara dengan bacaan surat Al- Fatehah atau basmalah.

2) Pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an

Setelah dibuka oleh pembawa acara maka mata acara berikutnya yaitu pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang dibacakan oleh qori’atau qori’ah.

3) Selayang pandang riwayat Meron

Pembacaan selayang pandang tentang riwayat tradisi “Meron ” di bacakan oleh ketua panitia penyelanggara, sesepuh atau yang mewakili. Pembacaan selayang pandang ini diharuskan putra desa Sukolilo asli. Isi dari selayang pandang yaitu mengisahkan tentang upacara tradisi Meron yang dilaksanakan baik pada jaman dulu dan sekarang serta berisi ajakan agar masyarakat Desa Sukolilo Pati tetap melestarikan budaya Meron sebagai wujud penghormatan terhadap nenek moyangnya.

4) Sambutan-sambutan

a) Ketua Panitia

Ketua Panitia dalam sambutannya berisi tentang puji syukur kehadirat Allah dan mengajak masyarakat Desa Sukolilo dan para hadirin agar tetap melestarikan perayaan tradisi Meron yang pada awalnya meniru perayaan "Skaten" di kerajaan Mataram. Perayaan Meron yang sekarang ini tidak hanya menjadi milik masyarakat Desa Sukolilo saja melainkan milik masyarakat di wilayah Kabupaten Pati. Sehingga harapan dari panitia penyelenggara agar pelaksanaan kegiatan ini selalu didukung oleh berbagai elemen masyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati, Dinas Pariwisata, dan Dinas Perhubungan.

b) Bupati Pati

Pada acara perayaan Meron yang diadakan oleh Panitia pada tahun 2003 Bupati Pati memberikan kata sambutan sebagai berikut : Perkembangan zaman dengan segenap dampaknya seringkali berhadapan dengan tradisi, adat istiadat dan budaya suatu masyarakat. Berkaitan dengan itu mungkin mulai banyak yang mempertanyakan mengapa “tradisi maulidan” semacam ini tetap berlangsung dan masyarakat tetap antusias mengikutinya. Bukan hanya di Pati, tetapi juga di daerah-daerah lain. Sebetulnya tradisi semacam ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, yang dinilai tidak bertentangan dengan berbagai sisi kehidupan yang lain, termasuk nilai-nilai agama, sehingga tetap terpelihara dan dilaksanakan sampai saat ini. Aspek-aspek yang terkandung dalam tradisi Meron di Desa Sukolilo Pati antara lain :

a) Pertama, rangkaian kegiatan serimonial yang dilaksanakan dalam tradisi Meron bertitik tolak dari peristiwa masa lalu yang mengandung nilai-nilai positif dalam kehidupan masyarakat yang menyangkut perjuangan para leluhur di Desa Sukolilo. Dengan pemahaman itu, diharapkan tidak mengalami keterputusan sejarah dan budaya dari leluhur kita serta menghormati para pendahulu kita.

b) Kedua, acara Meronan hakekatnya adalah rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa, atas berbagai nikmat, keselamatan dan reziki yang melimpah. Rasa syukur ini tentunya harus diikuti dengan berbagai kegiatan nyata yang lain. Diantaranya adalah menjaga kelestarian nilai-nilai budaya dan nilai-nilai tradisi yang mengandung paedagogis bagi kehidupan manusia.

c) Ketiga, adalah berkaitan dengan event promosi pariwisata khususnya wisata ritual. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya agar sektor ini dapat berkembang dengan baik Melalui kegiatan ini dapat menarik bagi parawisatawan untuk berkunjung di Kabupaten Pati sehingga dapat menambah pendapatan dan devisa guna mendukung otonomi daerah.

d) Tradisi Meron atau Maulidan, akan terpelihara dengan baik. Disamping itu, bagi masyarakat Desa Sukolio momentum Meron juga dijadikan sebagai wahana mengenang Junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga dapat dijadikan sebagai suri tauladan bagi generasi penerus, masyarakat bangsa dan negara.

5) Do’a selamatan / kenduri

Pembacaan do’a selamatan atau kenduri dilaksanakan Penghulu KUA Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati.

6) Penutup

Kata penutup dilaksanakan oleh pembawa acara dengan bacaan hamdalah bersama-sama.

7) Pembagian berkat selamatan

Setelah usai prosesi dan do'a penutup, kemudian kepala desa beserta perangkatnya membagikan nasi kenduri dan juwadah yang terdiri dari berbagai makanan dan buah-buahan serta air kendi kepada masyarakat sebagai tanda pemberian berkah dari kepala desa kepada rakyatnya.

3. Pasca Prosesi

Setelah pembagian berkat keselamatan / kendurian kepala desa beserta perangkat desa dan tamu undangan kembali ke rumah masing-masing dengan diikuti oleh para tamu undangan. Para perangkat desa kemudian diarak kembali menuju ke tempat Meronnya masing-masing sambil menyaksikan penurunan mustaka Meron dan mengajak rombongan pembawa Meron beserta pangombyong pulang kembali ke rumah. Sesampainya di rumah Meron tidak segera dibongkar tetapi disemayamkan terlebih dahulu selanjutnya diadakan acara ritual lagi yaitu tirakatan semalam suntuk dan pagi harinya diadakan kenduri / selamatan kurmat rosul dan jenang sumsum. Setelah hajatan selesai Meron baru di bubar sedangkan ampyang disimpan dan pada hari ke 36 (selapan dino) atau ke 7 ("sepasar dino") ampyang baru dapat dibagikan kepada kerabat, sanak saudara, handai taulan, masyarakat sekitar dan tamu yang hendak mengharapkan berkah (TIM Panitia Perayaan Meronan, 2003) (Mohammad Junaidi, Wawancara 17 Juni 2004 ).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan prosesi upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati dilaksanakan seacara bertahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan pasca prosesi. Pada tahap persiapan mengadakan berbagai kegiatan yaitu tirakatan, dan mempersiapkan berbagai uborampe yang akan digunakan dalam upacara perayaan Meronan. Pelaksanaan dimulai dari pemberangkatan Meron, kirab dan pelaksanaan prosesi / kenduri. Pasca Meronan kegiatannya pembagian kenduri, pemulangan kembali meron, tirakatan dan diakhiri pembagian ampyang.

Makna Filosofis Tradisi Upacara Meronan

Persepsi masyarakat terhadap tradisi upacara Meronan terdapat perbedaan, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan pemahaman, pandangan, filsafat, tingkat pendidikan. Pada umumnya masyarakat memiliki persepsi yang positif terhadap keberadaan tradisi Meronan di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Tradisi ini unik karena mengandung kegiatan serimonial dan memiliki kekuatan magis religius. Selain memiliki kekuatan magis juga dapat dijadikan sebagai sarana hiburan dan tontonan yang menarik bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Pati dan sekitarnya.

Keberadaan tradisi Meronan di Desa Sukolilo Kabupaten Pati menimbulkan berbagai penafsiran, pemahaman dan pandangan yang berbeda-beda. Letak perbedaanya pada kepercayaan, bagi kalangan agama bahwa tradisi Meron merupakan bentuk syukur kepada Allah atas lahirnya Nabi Muhammad sebagai panutan umat Islam. Hal ini dikarenakan masyarakat Pati termasuk masyarakat prural dan kompleks. Sehingga masing-masing golongan / kalangan memiliki pemahaman yang berbeda – beda dan beragam terhadap tradisi Meron tersebut. Dari persepsi yang disampaikan oleh berbagai golongan / kalangan antara lain :

1. Golongan Agama

Para santri dan ulama serta tokoh agama mengganggap bahwa tradisi Meron ini tidak terdapat dalam ajaran agama Islam akan tetapi ini merupakan tradisi dari masyarakat Sukolilo. Tujuan dari para perangkat desa dan masyarakat desa Sukolilo adalah untuk memperingati kelahiran / Maulid Nabi Muhammad SAW. yang dijadikan sebagai panutan umat Islam baik tindak-tanduknya, ahlakul karimah dan kepemimpinannya patut untuk disuri tauladani. Sebagai bentuk syukur kepada Allah atas kelahiran Nabi Muhammad ini maka diadakan perayaan Meronan. Perayaan ini diadakan secara meriah dengan suasana yang ritual dan agamis.

2. Masyarakat

Masyarakat memiliki pandangan bahwa pelaksanaan upacara tradisi Meron merupakan bentuk syukur dari masyarakat atas lahirnya junjungan Nabi Agung Muhammad SAW sebagai juru selamat bagi umat Islam. Untuk mengenang jasa-jasanya dalam menyebarkan ajaran agama Islam maka perayaan Meronan sebagai sarana ritual untuk melestarikan, mengembangkan ajaran agama termasuk mempertahankan adat dan tradisi Islam.

3. Pemerintah Kabupaten Pati

Pemerintah Kabupaten Pati mempersepsikan bahwa upacara tradisi Meronan merupakan manifestasi dari perwujudan budaya masyarakat Islam Sukolilo yang dilaksanakan secara turun temurun, yang harus dikembangkan, dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya. Bahkan upacara tradisi Meron dijadikan sebagai motivator pemerintah dalam mengembangkan budaya daerah. Dinas Pariwisata mempersepsikan bahwa tradisi Meron di Desa Sukolilo Pati merupakan tradisi yang unik dan tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya. Keunikan ini terletak pada pelaksanaan prosesi Meron dengan menampilkan sesaji dalam bentuk gunungan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai aset budaya tradisi dan identitas dari daerah Kabupaten Pati.

Selain persepsi tersebut di atas masih ada hal-hal yang dipersepsikan masyarakat yang menyangkut hal-hal sebagai berikut :

1. Uborampe yang digunakan dalam upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo Pati. Adapun uborampe sesaji tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Bahan sesaji

Bahan sesaji yaitu suatu bahan yang digunakan untuk sesaji. Bahan sesaji ini akan di perebutkan oleh masyarakat pada saat Meron / Gunungan dikeluarkan dari emperan. Adapun bahan yang digunakan untuk sesaji antara lain :

1) Ampyang yang melambangkan tameng / perisai.

2) Mancungan yang melambangkan tumbak.

3) Cucur melambangkan semangat / tekat

4) Once melambangkan iklas beramal demi persatuan.

5) Nasi ruroh melambangkan iman.

6) Buah-buahan melambangkan Islam

7) Lauk pauk melambangkan ikhsan.

b. Selamatan

Selamatan ini dipersepsikan oleh masyarakat adalah makan bersama-sama, setelah hidangan diberikan mantra-mantra dan do’a-do’a. Tujuan diadakan selamatan adalah untuk memohonkan agar hidupnya dalam keadaan selamat dan mendapatkan berkah rezeki melimpah serta kehidupan yang tentram dan sejahtera.

c. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat dalam tradisi Meron

Peralatan dan perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat dalam tradisi Meron dipersepsikan berbeda-beda. Peralatan ini meliputi :

1) Meron / Gunungan, bagi masyarakat dipersepsikan bahwa gunung adalah tinggi, yang melambangkan keiginan manusia agar kehidupannya dapat berhasil dan memperoleh puncak kejayaan. Sehingga Meron di buat dalam bentuk kerucut atau memuncak.

2) Meron / Gunungan

Meron atau gunungan bentuknya dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

a) Bagian Mustaka

Bagian mustaka ini berbentuk jagoan, kecuali Meron yang dimiliki oleh Modin berbentuk Masjid. Jagoan ini dilingkari dengan bunga, difilsafatkan seorang pemimpin / panutan harus dapat dijadikan sebagai panutan sehingga harum namanya.

Selain itu, jagoan di persepsikan masyarakat melambagkan kewiraan / keprajuritan. Masjid melambangkan keisalaman dan karangan bunga melambangkan iklas beramal demi persatuan.

b) Bagian Gunungan / Duwuran

Gunungan ini terdiri dari ampyang yang melambangkan tameng / perisai, mancungan yang melambangkan tumbak, Cucur melambangkan semangat / tekat, Once melambangkan iklas beramal demi persatuan.

c) Bagian Ancak

Ancak ini terdiri dari beberapa bagian antara lain :

(1) Ancak 1 melambangkan iman.

(2) Ancak 2 melambangkan Islam berisi lima macam buah buahan.

(3) Ancak 3 melambangkan Ikhsan berisi lauk pauk.

Ketiga tahapan ancak ini saling terkait dan tidak lepas. Sedangkan daun Wandira (ringin( yang melilit di empat sudut ancak melambangkan kedamaian dan ketentraman. Manusia yang ingin mencapai kedamaian dan ketentraman harus dapat menyatukan iman, Islam dan Ihsan Supar Tasmanto, Wawancara, 25 Juni 2004).

Selain persepsi masyarakat di atas tradisi Meron di Desa Sukolilo Pati memiliki makna paedagogis yang mendalam serta memiliki beberapa Aspek-aspek yang terkandung dalam tradisi Meron tersebut :

a. Kegiatan Meron merupakan upacara serimonial yang dilaksanakan oleh masyarakat bertitik tolak dari peristiwa masa lalu yang mengandung nilai-nilai positif dalam kehidupan masyarakat di Sukolio dan sekitarnya, yang patut dipertahankan sebagai manifestasi bentuk penghormatan terhadap para leluhurnaya.

b. Acara Meronan pada hakekatnya bentuk rasa syukur terhadap Allah, atas segala limpahan rahmat dan karunianya menurunkan Nabi Muhammad sebagai panutan umat Islam sehingga dapat memberikan petunjuk jalan menuju kearah yang benar.

c. Tradisi Meron dapat dijadikan sebagai event promosi pariwisata ritual. Yang dapat mendorong masyarakat untuk menemas suatu acara yang lebih meriah, menarik dan sebagai sarana hiburan dan penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai promosi wisata dan identitas serta jati diri bagi masyarakat Sukolilo khususnya dan Kabupaten Pati pada umumnya (Slamet, Wawancara 21 Juni 2004).

Berdasarkan dari pernyataan dan penuturan inforaman tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tradisi Meron di Desa Sukolilo Pati dipersepsikan berbeda-beda baik dari kalangan agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah Kabupaten Pati. Hal yang dipersepsikan menyangkut uborampe serta peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam tradisi Meron tersebut. Sedangkan oleh masyarakat dipersepsikan dengan penuh makna dan mengandung unsur pendidikan (paedagogis) serta dijadikan sebagai upacara serimonial yang mengandung makna magis dan religius.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah tradisi upacara Meron di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan cerita dari para sesepuh desa, upacara tradisi Meron di Sukolilo diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Kasultanan Mataram (permulaan abad 17), setelah Demang Sukolilo yang bernama Suro Kerto berhasil menumpas pembrontakan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo yang bermaksud membangkang ("kraman") terhadap kekuasaan Sultan di Mataram. Sepulang dari peperangan, para prajurit mesanggrah di Kademangan Sukolilo. Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para prajurit mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana adat Kasultanan setiap tahunnya. Berkat "palilah" (ijin) Dalem Kademangan Sukolilo diperkenan untuk mengadakan perayaan serupa setiap tahunnya. Namun istilahnya bukan lagi Sekaten tetapi Meron.

Pelaksanaan prosesi upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati dilaksanakan seacara bertahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan pasca prosesi. Pada tahap persiapan mengadakan berbagai kegiatan yaitu tirakatan, dan mempersiapkan berbagai uborampe yang akan digunakan dalam upacara perayaan Meronan. Pelaksanaan dimulai dari pemberangkatan Meron, kirab dan pelaksanaan prosesi / kenduri. Pasca Meronan kegiatannya pembagian kenduri, pemulangan kembali meron, tirakatan dan diakhiri pembagian ampyang.

Persepsi masyarakat terhadap tradisi upacara Meron di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo dipersepsikan berbeda-beda baik dari kalangan agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah Kabupaten Pati. Hal yang dipersepsikan menyangkut uborampe serta peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam tradisi Meron tersebut. Sedangkan oleh masyarakat dipersepsikan dengan penuh makna dan mengandung unsur pendidikan (paedagogis) serta dijadikan sebagai upacara serimonial yang mengandung makna magis dan religius.

B. Saran

1. Pemerintah Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Kudus

Pemerintah Desa Sukolilo hendaknya tetap mempertahankan tradisi Meronan, karena sudah dilaksanakan secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Melaksanakan tradisi Meron berarti mempertahankan budaya dan identitas masyarakat desa Sukolilo.

2. Pemerintah Kabupaten Pati dan Instansi yang Terkait

Pemerintah Kabupaten dan Instansi yang terkait hendaknya ikut bertanggungjawab dalam upaya melestarikan tradisi Meron tersebut sebagai aset budaya daerah, aset wisata dan identitas seluruh masyarakat Pati sehingga diperlukan keterpaduan dan kesamaan langkah baik dari Pemerintah, Dinas Pariwasata, Pemerintahan Desa Sukolilo dalam menangani tradisi Meron tersebut. Dengan demikian diharapkan tradisi Meron bukan hanya sebagai acara ritual seremonial saja melainkan dapat dijadikan tontonan dan hiburan yang menarik bagi masyarakat.

3. Masyarakat Desa Sukolilo

Masyarakat desa Sukolilo hendaknya turut mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan tradisi Meron sebagai bentuk dari manifestasi dari penghormatan terhadap leluhurnya yang telah mengadakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai wahana untuk mendorong keimanan dan ketaqwaan masyarakat.

4. Pengunjung

Para pengunjung hendaknya turut menciptakan suasana yang kodusif dan ikut serta menjaga keamanan dan ketertiban jalannya tradisi prosesi upacara Meron agar upacara tersebut benar-banar membawa berkah bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Zuhdi. 2003. Tradisi Meron di Desa Sukolilo. Sukolilo. TIM Perayaan Meron.

Dinas Pariwisata. 1987. Legenda Obyek Wisata Pati. Pati : Dinas Pariwisata Kabupaten Pati.

TIM. 2003. Pelaksanaan Tradisi Meron di Desa Sukolilo Pati . : Pati : Panitia Tradisi Meron.

Sugeng Suryanto. 1987 : Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah, Semarang, Depdikbud.

Sumarno. 1994 . Sejarah Budaya III, Jakarta : Yudistira.

Sunaryo. 1984 . Mengenal Kebudayaan Daerah. Solo : Tiga Serangkai.

Tontje Tnunay. 1996. Potensi Wisata Jawa Tengah Berwawasan Lingkungan. Klaten : CV. Sahabat.

Zulfikri Annas. 1994. Tradisi dan Budaya Jawa. Solo. Tiga Serangkai.

Daftar wawancara.

Ali Zuhdi, 21 Juni 2004. Wawancara tentang Tradisi Meron

Joko Mahargyo. 7 Juni 2004. Wawancara tentang Sejarah Meron. Sukolilo.

Mohammad Junaidi. 17 Juni 2004. Wawancara tentang Tradisi Meron. Sukolilo.

Mulyanto. 1 Juni 2004. Wawancara tentang Sejarah Meron. Sukolilo.

Slamet, 21 Juni 2004. Wawancara tentang Tradisi Meron. Sukolilo.

Sukemat. 4 Juni 2004. Wawancara tentang Sejarah Meron. Sukolilo.

Supar Tasmanto, 25 Juni 2004. Wawancara tentang Tradisi Meron. Sukolilo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar